Demokrasi Parlementer & Pembangunan Nasional: Apa Kendalanya?

by Jhon Lennon 62 views

Guys, pernah kepikiran nggak sih, kenapa di masa demokrasi parlementer dulu, pembangunan nasional itu kok kayak susah banget buat jalan?

Periode Demokrasi Parlementer: Sebuah Gambaran

Oke, jadi kita ngomongin era Demokrasi Parlementer di Indonesia, yang kira-kira berlangsung dari tahun 1950 sampai 1959. Ini tuh masa-masa penting banget, guys, di mana Indonesia lagi nyari jati diri pasca-kemerdekaan. Sistem pemerintahannya tuh beda banget sama sekarang. Kekuasaan eksekutif (pemerintah) tuh diemban sama Perdana Menteri dan kabinetnya, yang bertanggung jawab ke parlemen (DPR). Presiden cuma jadi kepala negara simbolis, nggak banyak campur tangan urusan pemerintahan sehari-hari. Nah, uniknya lagi, di periode ini ganti-ganti menteri sama kabinet itu udah kayak ganti baju, cepet banget! Tiap ada mosi nggak percaya dari parlemen, yaudah, kabinet bubar, ganti lagi. Ini yang bikin stabilitas politik jadi goyah banget, kayak naik rollercoaster yang nggak ada remnya.

Dampaknya ke pembangunan nasional? Jelas kerasa, guys. Bayangin aja, kalau pemerintahannya aja nggak stabil, gimana mau fokus ngerjain proyek-proyek pembangunan jangka panjang? Proyek infrastruktur kayak jalan, jembatan, irigasi, atau program-program ekonomi yang butuh perencanaan matang dan kelangsungan bertahun-tahun, jadi terhambat. Setiap kabinet yang baru naik, biasanya punya prioritas dan program sendiri. Alih-alih ngelanjutin program yang udah jalan dari kabinet sebelumnya, seringkali malah dirombak total atau ditinggalin gitu aja. Ini kan buang-buang waktu, tenaga, dan sumber daya negara, ya kan? Belum lagi, kalau mau nentuin kebijakan yang fundamental, butuh banget dukungan mayoritas di parlemen. Tapi karena partai-partai politik punya kepentingan yang beda-beda dan sering banget nggak sepaham, akhirnya banyak banget RUU (Rancangan Undang-Undang) atau kebijakan penting yang mandek di meja parlemen. Proses legislasi jadi lambat, bahkan nggak jalan sama sekali. Akibatnya, negara kayak jalan di tempat, nggak bisa gerak maju signifikan dalam pembangunan. Jadi, bisa dibilang, ketidakstabilan politik dan fragmentasi partai itu jadi musuh utama pembangunan nasional di era ini. Semuanya serba nggak pasti, serba rebutan kekuasaan, sementara rakyat butuh kemajuan nyata.

Akar Masalah: Fragmentasi Partai dan Instabilitas

Nah, kalau kita bedah lebih dalam lagi, akar masalahnya itu sebenarnya ada di sistem kepartaian yang super duper terfragmentasi. Di era itu, ada banyak banget partai politik yang bertebaran, guys. Mulai dari partai-partai Islam kayak Masyumi dan NU, partai nasionalis kayak PNI, sampai partai-partai kecil lainnya. Saking banyaknya, nggak ada satu partai pun yang punya suara mayoritas mutlak di parlemen. Alhasil, untuk membentuk kabinet yang kuat dan stabil, partai-partai harus jalin koalisi. Tapi namanya juga koalisi, banyak kepala banyak pikiran. Perbedaan ideologi, kepentingan kelompok, dan ambisi politik antarpartai itu sering banget bikin koalisi jadi rapuh. Sekali ada gesekan kecil, bisa langsung pecah berai dan berujung pada jatuhnya kabinet. Contohnya, kabinet Ali Sastroamidjojo II yang jatuh cuma gara-gara isu mengenai ABRI masuk desa. Hal sepele kayak gitu aja bisa bikin negara goyang, lho!

Ketidakstabilan politik ini punya efek domino yang parah banget ke pembangunan. Coba bayangin, kalau pemerintah nggak punya waktu yang cukup buat ngerjain program-programnya, gimana mau lihat hasil? Proyek-proyek strategis, kayak pembangunan jalan tol Trans Jawa, pengembangan industri, atau program transmigrasi, itu butuh waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Tapi karena kabinetnya ganti-ganti terus, program-program ini seringkali cuma jadi wacana atau nggak kelar. Dana yang udah dialokasiin buat pembangunan jadi nggak efektif, bahkan kadang terbuang sia-sia. Ditambah lagi, dengan seringnya pergantian kabinet, para pejabat publik juga jadi nggak fokus. Mereka lebih mikirin gimana caranya mempertahankan kekuasaan atau gimana caranya nyiapin diri buat kabinet selanjutnya, daripada mikirin nasib rakyat dan kemajuan negara. Birokrasi jadi nggak efisien, korupsi bisa merajalela karena nggak ada pengawasan yang kuat dan berkelanjutan. Kondisi ini bikin kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga anjlok. Mereka lihat pemerintah sibuk main politik, sementara kebutuhan dasar mereka kayak pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan nggak terpenuhi dengan baik. Jadi, pembangunan nasional yang seharusnya jadi prioritas utama, terpaksa harus ngalah sama tarik-ulur kepentingan politik.

Kebijakan Pembangunan yang Terpecah

Ujung-ujungnya, karena partai politiknya banyak dan punya agenda masing-masing, kebijakan pembangunan yang keluar juga jadi nggak fokus, guys. Setiap kabinet yang berkuasa pasti punya program unggulan sendiri. Misalnya, kabinet A fokus sama pembangunan pertanian, eh pas ganti kabinet B, fokusnya malah ke industrialisasi. Atau kabinet C pengen banget bangun sekolah di seluruh Indonesia, tapi kabinet D lebih mentingin pembangunan rumah sakit. Hal ini bikin pembangunan jadi kayak tambal sulam, nggak terarah dan nggak sinergis. Nggak ada grand design pembangunan nasional yang konsisten dan berkelanjutan. Ibarat mau bangun rumah, pondasinya belum jadi udah pindah bangun atap, terus nanti pindah lagi ngerjain tembok. Ya nggak bakal kelar-kelar, kan? Terus, karena gonta-ganti kabinet itu sering banget, rencana-rencana strategis yang udah disusun rapi seringkali nggak sempat dieksekusi. Anggaran yang udah disiapin buat proyek-proyek penting bisa terpakai buat hal lain atau bahkan nggak terserap sama sekali karena programnya batal. Ini kan sayang banget, guys, sumber daya negara jadi nggak dimanfaatkan secara optimal. Dana APBN yang seharusnya bisa dipakai buat bangun sekolah, rumah sakit, atau jalan, malah jadi nganggur atau dipake buat bayar utang luar negeri yang makin membengkak akibat ketidakmampuan mengelola ekonomi. Belum lagi, karena kondisi politik yang nggak stabil, investor dari luar negeri jadi mikir-mikir buat nanem modal di Indonesia. Mereka takut, lho, kalau tiba-tiba ada perubahan kebijakan drastis gara-gara kabinet ganti, atau malah aset mereka jadi nggak aman. Akibatnya, pembangunan ekonomi yang butuh investasi besar jadi terhambat. Jadi, kebijakan pembangunan yang terpecah belah dan nggak konsisten ini jadi salah satu faktor krusial kenapa pembangunan nasional di era demokrasi parlementer itu sulit banget diwujudkan secara optimal. Semuanya serba nggak jelas arahnya, serba nggak pasti kelanjutannya.

Faktor Eksternal: Keterbatasan Anggaran dan Bantuan Luar Negeri

Selain masalah internal di dalam negeri, guys, ada juga faktor eksternal yang bikin pembangunan nasional di masa demokrasi parlementer makin terbebani. Salah satunya adalah keterbatasan anggaran negara. Ingat, Indonesia baru aja merdeka, kondisi ekonomi masih porak-poranda pasca-perang. Kas negara tuh tipis banget, guys. Pendapatan negara dari pajak, bea cukai, dan sumber lainnya itu belum optimal karena industri dan perdagangan belum berkembang. Nah, pembangunan nasional kan butuh duit banyak banget. Mulai dari bangun sekolah, rumah sakit, jalan, jembatan, sampai ngasih subsidi buat rakyat. Dengan anggaran yang terbatas, pemerintah mau nggak mau harus mikir keras gimana caranya ngumpulin duit. Seringkali, opsi yang diambil adalah ngutang ke luar negeri. Tapi, ngutang ini kan ada konsekuensinya, guys. Bunga utangnya tinggi, dan pembayaran cicilannya bisa nguras APBN. Alhasil, sebagian besar anggaran negara malah habis buat bayar utang, bukan buat pembangunan.

Faktor eksternal lainnya adalah ketergantungan pada bantuan luar negeri. Karena anggaran negara minim, Indonesia seringkali harus bergantung sama pinjaman atau bantuan dari negara-negara lain, terutama dari Blok Barat. Ini jadi dilema tersendiri. Di satu sisi, bantuan itu ngebantu banget buat ngejalanin proyek-proyek pembangunan. Tapi di sisi lain, bantuan luar negeri itu seringkali datang dengan 'syarat' yang nggak selalu sejalan sama kepentingan nasional kita. Misalnya, negara pemberi bantuan mungkin minta Indonesia buat ngikutin kebijakan ekonomi tertentu, atau malah ngasih bantuan dalam bentuk barang yang belum tentu kita butuhkan. Hal ini bisa bikin kebijakan pembangunan nasional jadi nggak mandiri dan malah tunduk sama kepentingan negara lain. Belum lagi, dinamika politik global saat itu, terutama Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, ikut mempengaruhi alur bantuan. Negara-negara donor punya agenda politiknya sendiri, dan bantuan yang diberikan bisa jadi alat untuk menarik Indonesia masuk ke dalam pengaruh mereka. Jadi, mau nggak mau, kebijakan pembangunan kita harus sedikit banyak mempertimbangkan kepentingan negara-negara donor ini. Kondisi ini bikin pembangunan nasional jadi nggak sepenuhnya otonom dan sesuai dengan visi bangsa sendiri. Kita kayak disetir sama pihak luar, padahal mestinya kita yang pegang kendali. Jadi, kombinasi antara keterbatasan anggaran domestik dan tantangan dalam mengelola bantuan luar negeri ini bener-bener jadi batu sandungan besar yang bikin pembangunan nasional di era demokrasi parlementer jadi makin sulit untuk dilaksanakan secara maksimal.

Kesimpulan: Pelajaran dari Masa Lalu

Jadi, guys, kalau kita rangkum, pembangunan nasional di masa demokrasi parlementer itu mandek bukan karena rakyatnya nggak mau maju, tapi lebih karena kondisi politik yang super tidak stabil, fragmentasi partai yang parah, kebijakan pembangunan yang nggak konsisten, serta keterbatasan anggaran dan pengaruh eksternal. Semua ini saling terkait dan menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Tapi, dari kegagalan ini, kita bisa belajar banyak, lho. Kita jadi paham betapa pentingnya stabilitas politik, adanya partai yang kuat dengan visi yang jelas, dan kebijakan pembangunan jangka panjang yang terarah. Semoga pelajaran dari era ini bisa bikin kita lebih bijak dalam membangun Indonesia ke depannya, ya!